
A PONCO ANGGORO/HARIAN KOMPAS
Tak ingin semangat belajar anak-anak mengendur, Joris mengeluarkan uang dari kocek pribadi guna membeli dua papan tulis dengan spidol seharga Rp 300.000.
Oleh A Ponco Anggoro
KOMPAS.com - Saat tak ada yang peduli pendidikan bagi Suku Hoaulu, Joris Lilimau tampil berperan. Ia mengenalkan sekolah bagi suku yang tinggal di kawasan hutan Taman Nasional Manusela, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, itu.
Jumat (30/4/2010) pukul 06.30 waktu setempat, masih terluang waktu satu jam sebelum pelajaran di Sekolah Dasar Kecil Hoaulu dimulai. Namun, para murid sudah datang dan duduk di kelas.
Saat sang guru datang, 30 murid di dua kelas itu mengikuti kegiatan belajar-mengajar, tanpa seorang pun berani mengobrol. Dua tahun lalu, jangan membayangkan antusiasme anak-anak Hoaulu seperti itu.
”Ketika sekolah darurat masih dirintis, tak ada siswa yang mau datang,” kenang Joris.
Saat itu, bangunan sekolah beratap sirap, berdinding batang kayu. Ruang keras kerap kosong. Padahal, masyarakat Hoaulu secara gotong royong selama enam bulan telah membangunnya. ”Kesadaran masyarakat untuk membangun sekolah ternyata tidak serta-merta dibarengi kesadaran para orangtua untuk menyekolahkan anak mereka,” katanya.
Harap maklum, mereka sejak ratusan tahun lalu terbiasa menghabiskan hari-hari dengan berburu atau bekerja di ladang. Pendidikan sama sekali tak dikenal sehingga mereka tidak melihatnya sebagai hal penting. Jadi, meski pendidikan di sekolah itu gratis dan anak-anak tak perlu membawa alat tulis dan berseragam sekolah, tetap saja tidak satu pun anak Hoaulu yang mau sekolah.

Menjadi guru, ya, harus seperti ini. Di mana pun ditugaskan harus siap.
-- Joris Lilimau

Jumat (30/4/2010) pukul 06.30 waktu setempat, masih terluang waktu satu jam sebelum pelajaran di Sekolah Dasar Kecil Hoaulu dimulai. Namun, para murid sudah datang dan duduk di kelas.
Saat sang guru datang, 30 murid di dua kelas itu mengikuti kegiatan belajar-mengajar, tanpa seorang pun berani mengobrol. Dua tahun lalu, jangan membayangkan antusiasme anak-anak Hoaulu seperti itu.
”Ketika sekolah darurat masih dirintis, tak ada siswa yang mau datang,” kenang Joris.
Saat itu, bangunan sekolah beratap sirap, berdinding batang kayu. Ruang keras kerap kosong. Padahal, masyarakat Hoaulu secara gotong royong selama enam bulan telah membangunnya. ”Kesadaran masyarakat untuk membangun sekolah ternyata tidak serta-merta dibarengi kesadaran para orangtua untuk menyekolahkan anak mereka,” katanya.
Harap maklum, mereka sejak ratusan tahun lalu terbiasa menghabiskan hari-hari dengan berburu atau bekerja di ladang. Pendidikan sama sekali tak dikenal sehingga mereka tidak melihatnya sebagai hal penting. Jadi, meski pendidikan di sekolah itu gratis dan anak-anak tak perlu membawa alat tulis dan berseragam sekolah, tetap saja tidak satu pun anak Hoaulu yang mau sekolah.