Senin, 08 November 2010

FILOSOFI KENTUT

SIAPAPUN akan menganggap kentut adalah tindakan yang tidak sopan dan kurang ajar. Apalagi kalau kemudian diimbuhi dengan aroma yang menyesakkan dada. Gas buang dari dalam tubuh ini memang “senjata ampuh”  untuk “mengacaukan” suasana. Segala sumpah serapah dan caci maki biasanya langsung bermunculan tatkala terdengar suara kentut.
Tapi tahukah kita mengapa Tuhan repot-repot menciptakan tubuh manusia dengan asesorisnya termasuk persoalan kentut tadi? Mengapa harus ada bau “busuk” seiring keluarnya kentut tadi? Pernahkah kita iseng-iseng melihat dari sisi lain diluar pandangan tidak sopan dan kurang ajar tadi?
Dari sisi kesehatan, saya melihat itu semua dari sudut pandang ‘keseimbangan’. Metabolisme tubuh tak bisa selamanya dipertahankan di dalam. Ibarat mesin, harus ada asap knalpot atau oli yang diganti. Begitu juga dengnan kentut. Ketika seseorang tidak bisa kentut, sebenarnya dia punya persoalan dengan metabolisme tubuhnya. Kasarnya, ada yang tidak beres dengan system pencernaan [dan pengeluaran] pada tubuhnya.  Artinya juga, dia tidak punya keseimbangan ‘pemasukan’ [makanan] dan ‘pengeluaran’ [proses metabolisme]. Idem ditto berarti tubuhnya tidak sehat.
Filosofi kentut ini bicara soal keseimbangan. Seperti kita melihat ada yang cantik, ada yang tidak cantik. Ada yang kurus ada yang gemuk. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada siang, ada malam. Semaunya punya ritme dan [harusnya] keseimbangan.  Keseimbangan itu bisa dilihat dalam kacamata klausul-klausul yang disepakati. Boleh kaya, tapi apa yang Anda sisihkan untuk yang miskin? Silakan nikmati siang, tapi istirahatlah ketika malam.  Tatap kecantikan Anda, tapi jangan hina si buruk rupa.
Bebahagialah Anda yang bisa menikmati kentut, karena Anda bisa menikmati keseimbangan. Pesan yang sederhana, tapi tak pernah terjangkau….

Dikutip dari: http://moer.multiply.com/journal/item/112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar