Senin, 08 November 2010

FILOSOFI MANUK GAOK

Di daerah Sokaraja, Banyumas, manuk Gaok beberapa puluh tahun silam, adalah salah burung yang ditakuti. Manuk Gaok adalah sebutan lain untuk Burung Gagak yang berwarna hitam. Mengapa ditakuti? Konon, ketika terdengar Manuk Gaok itu bersuara dan kemudian hinggap di salah satu rumah, artinya akan ada salah satu anggota keluarga [di rumah yang dihinggapi] yang bakal meninggal.
Susah memang membuktikannya, tapi konon setiap Manuk Gaok itu bersuara, siapapun yang mendengarnya, langsung mengetok meja, kursi, lemari atau lesung, beberapa kali sembari  membaca doa-doa. Maksudnya, supaya tidak ada anggota keluarganya yang bernasib buruk, meninggal dunia.
Entah, apakah sampai sekarang budaya dan ketakutan akan pertanda itu masih berlaku sementara populasi gagak  hitam sendiri mulai berkurang [banyak].  Dari ilustrasi itu kita bisa melihat, bagaimana “ketakutan” itu lahir dari satu ‘budaya pertanda’ yang belum teruji kebenarannya.
Jujur saja, bukankah kita juga sering ketakutan dengan tanda-tanda yang kita sendiri sebenarnya tak meyakini kebenarannya? Kita sering mengartikan apapaun sebagai tanda. Kita meyakini mimpi sebagai tanda. Kita kejatuhan cicak sebagai tanda. Gigi kita tanggal pun selalu dianggap sebagai pertanda. Mobil lecet jadi pertanda, teman tiba-tiba baik pun menjadi pertanda.
Coba dibalik, ketika kita melihat orang lain terpuruk kemudian jadi pertanda kita untuk mengulurkan tangan, ketika melihat orang lain tersesat, itulah pertanda kita memberikan petunjuk jalan. Ketika orang lain terjatuh, jadikan pertanda untuk membantunya berdiri. Sederhana bukan, belajar dari Manuk Gaok bukan untuk menjadi takut tapi menjadi lebih kuat…

Dikutip dari: http://moer.multiply.com/journal/item/115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar